Maksimalkan warisan budaya
Jumat, 29 Nopember 2013 15:56 WIB (1 year yang lalu)Editor: Fatkhul Aziz
0Google +0 0 0
(Foto: ISTIMEWA)
Sejumlah tokoh adat dan kepala desa di Banyuwangi melihat desa wisata Penglipuran, Bangli, Bali.
LENSAINDONESIA.COM: Kabupaten Banyuwangi terus melakukan berbagai langkah untuk menggenjot sektor pariwisatanya. Di samping menggelar berbagai acara pariwisata berbasis atraksi budaya dan keindahan alam, kabupaten berjuluk ‘The Sunrise of Java’ ini juga mengembangkan desa wisata.
“Desa wisata punya potensi besar, terutama untuk segmen wisatawan yang tertarik menyelami kekayaan seni-budaya masyarakat Osing,” kata Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas dalam surat elektroniknya kepada LICOM, Jumat (29/11/2013).
Baca juga: Duta Wisata Indonesia menari "Deno Semarang" di Korea Selatan dan Pernyataan Prabowo dibantah tim pemenangannya sendiri
Secara garis besar, desa wisata bisa diartikan sebagai konsep wisata terintegrasi di sebuah wilayah yang memadukan antara potensi wisata lokal berupa produk seni-budaya dan keindahan alam, akomodasi, dan fasilitas pendukung lainnya.
Di Banyuwangi, sudah terdapat satu desa wisata, yaitu Desa Wisata Osing yang terletak di daerah Kemiren, sekitar 15 menit perjalanan dari pusat kota Banyuwangi dengan menggunakan kendaraan bermotor. Di Desa Wisata Kemiren, sedikitnya terdapat 32 acara budaya, di mana 18 di antarannya berupa kesenian. Di antara kekayaan seni-budayanya adalah tradisi Ndog-ndogan, Penampan, Ider Bumi, Tari Gandrung, Angklung Paglak, dan lain sebagainya.
Kekayaan seni-budaya itu berpadu dengan kekhasan lokal lain seperti rumah adat dengan arsitektur khas Osing yang mencerminkan keramahan dan sikap egaliter. Warisan budaya agraris juga kental di mana ada pola bertani tradisonal, seperti penggunaan baling-baling kayu (disebut kiling) untuk mengusir hama yang bisa mengganggu tanaman.
“Kemarin, kami juga baru saja mengajak sejumlah kepala desa dan tokoh adat yang daerahnya punya potensi wisata untuk berguru ke Bali selama satu hari. Kami ke Desa Wisata Batu Bulan dan Penglipuran, Bali. Di sana termasuk belajar hal yang kelihatannya remeh tapi sangat substansial, seperti ramah dan tidak mematok harga barang yang tak rasional ke wisatawan,” kata Anas.
Anas menekankan, pengembangan wisata Banyuwangi didasarkan pada konsep pelibatan sumberdaya lokal, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun sumberdaya institusional. “Masyarakat harus terlibat. Institusi lokal seperti kelompok pemuda, koperasi warga, atau kelompok perempuan didorong jadi ujung tombak pemasaran wisata,” tuturnya.
Wisatawan yang datang ke destinasi desa wisata juga bisa menginap di rumah penduduk, mempelajari cara hidup mereka, dan makan makanan setempat. Sehingga, masyarakat lokal tidak hanya dijadikan objek turistik belaka, melainkan sebagai ”tuan” bagi diri mereka sendiri, wirausahawan, penyedia jasa, sekaligus diberdayakan sebagai pekerja. “Di Desa Wisata Osing Banyuwangi ada rumah yang biasa dijadikan home stay. Sanggar-sanggar seni hidup. Cara penyajian kopi juga khas, bahkan wisatawan bisa ikut memproses dan menggoreng kopi,” kata Anas.
Salah satu contoh sukses penerapan desa wisata berbasis masyarakat adalah komunitas Posada Amazonas yang hidup di daerah Taman Nasional Tambopata, Peru. Mereka mengelola lahan dan menawarkan ekspedisi melintasi hutan bagi wisatawan. Wisatawan diajak belajar cara hidup ala Indian Peru dengan berburu, memancing, hingga memotong pohon. Para wisatawan pun diajak menghargai alam.
“Jadi sebenarnya konsep desa wisata ini selaras dengan model pengembangan pariwisata berkelanjutan. Jika unggulannya alam, maka desa wisata bisa meningkatkan daya dukung lingkungan. Jika unggulannya atraksi seni-budaya, maka desa wisata bisa melestarikan dan mengembangkan warisan budaya dari leluhur,” tutur Anas.@licom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar